Our Blog

Menangkal Agresi Dari Laut

Berkaitan dengan Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI) Ke-57 tanggal 5 Oktober 2002, Kompas menyelenggarakan diskusi bertema "Quo Vadis Reformasi TNI?" pada Selasa (1/10) di Jakarta. Enam pembicara dalam diskusi itu adalah Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Prof Dr Juwono Sudarsono yang juga mantan Menteri Pertahanan, pengamat militer Letjen (Purn) Hasnan Habib, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Letjen Agus Widjojo, pengamat militer Dr Kusnanto Anggoro, dan Dr Edy Prasetyono, serta Presidium Kontras Munir. Ditambah berbagai bahan yang diperoleh di lapangan, hasil diskusi dituangkan berturut-turut di halaman ini, 30, dan 31.

SUATU hari di timur laut wilayah Timor Timur (Timtim), saat terjadi ketegangan antara Indonesia dengan Portugal. Kapal selam Indonesia yang sedang berpatroli bergerak dalam posisi berlawanan arah dengan kapal perusak (destroyer) milik Portugal yang memasuki wilayah perairan Indonesia. Dari kejauhan awak kapal Portugal melihat dengan jelas kapal selam Indonesia, dan sebaliknya keberadaan kapal Portugal telah terdeteksi oleh kapal selam Indonesia. Terjadi sesuatu yang tidak lazim, meski telah terlihat dan semakin dekat dengan kapal Portugal, kapal selam Indonesia tetap berlayar di permukaan.

Ulah kapal selam Indonesia itu menimbulkan spekulasi bagi awak kapal Portugal. Mereka berpikir, Indonesia sedang memainkan taktik baru dengan tidak menyelamkan kapal selamnya meskipun telah terlihat oleh musuh. Akhirnya destroyer Portugal putar haluan tanpa terjadi insiden.

Tanpa teknologi canggih-karena ternyata kapal selam tua itu memang sudah tidak mampu menyelam-Indonesia berhasil menghalau kapal Portugal.

Entah sekadar lelucon atau benar-benar terjadi, yang jelas kisah itu menggambarkan betapa sangat terbatasnya kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki militer Indonesia, sehingga dalam menghadapi ancaman dari negara lain, terpaksa harus diimbangi dengan kenekatan prajurit TNI.

Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Bernard Kent Sondakh, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR awal Juli lalu, mengakui lemahnya kemampuan tempur matra laut. Dari total 113 KRI (Kapal Republik Indonesia) yang dimiliki TNI AL saat ini-meliputi kapal tempur, kapal patroli, dan kapal pendukung-tak ada satu pun yang siap tempur sesuai fungsi azasinya.

Umumnya kapal milik TNI AL itu telah berusia tua dan kondisinya semakin diperparah oleh embargo peralatan militer oleh Amerika Serikat (AS), yang sampai saat ini belum benar-benar dicabut. Keseluruhan armada kapal TNI AL, sebanyak 39 KRI berusia di atas 30 tahun, 42 KRI berusia antara 21-30 tahun, 24 KRI berusia antara 11-20 tahun, dan hanya delapan KRI yang berusia di bawah sepuluh tahun tahun.

Sementara itu, kondisi dua kapal selam kelas U-209 buatan Jerman tahun 1981, dengan senjata andalan torpedo tengah bermasalah dengan sistem motor pokok. Juga mengalami kerusakan pada sistem kompressor, dan baterai torpedo yang sudah kadaluwarsa. Untuk perbaikannya agak sulit, karena galangan kapal di Indonesia, termasuk PT PAL Indonesia, belum mampu menangani pemeliharaan tingkat depo bagi kapal selam.

Enam kapal fregat TNI AL teknologinya sudah ketinggalan jauh. Tingkat kerusakan kapal kelas Van Speijk buatan Belanda tahun 1967 juga cukup tinggi. Kemampuan fire power dan kecepatannya sudah menurun, sedangkan kondisi senjata andalannya, peluru kendali jenis Harpoon, dua di antaranya sudah kadaluwarsa dan empat buah lainnya kadaluwarsa pada akhir 2002 ini.

Kondisi menyedihkan itu juga dialami empat korvet buatan Belanda dan Yugoslavia tahun 1980. Dari empat kapal itu, satu dalam kondisi siap terbatas dan tiga buah lainnya dalam pemeliharaan. Sementara itu, 26 senjata andalannya berupa peluru kendali exocet MM-38, seluruhnya sudah kadaluwarsa.

Nasib yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada 16 unit korvet tipe parchim bekas Jerman Timur, dan empat kapal cepat rudal buatan Korea tahun 1979. Hanya dua kapal cepat torpedo buatan PT PAL Indonesia tahun 1988 yang masih dalam kondisi baik dan siap dioperasikan.

Bagaimana dengan kesiapan alutsista yang dimiliki TNI Angkatan Udara (AU)? Dalam rapat dengar pendapat Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Chappy Hakim dengan Komisi I DPR beberapa waktu lalu, terungkap bahwa kesiapan dari seluruh pesawat terbang TNI AU berada di bawah 50 persen. Sedangkan kesiapan radar pertahanan udara sekitar 68 persen.

Dari 222 pesawat terbang TNI AU, yang dapat disiapkan untuk beroperasi hanya 93 pesawat. Selebihnya, 129 pesawat tidak siap beroperasi. Khusus untuk pesawat tempur, dari 89 pesawat yang ditempatkan pada tujuh skadron udara, hanya 30 pesawat yang siap dioperasikan.

Demikian pula radar pertahanan udara yang jumlahnya 16 unit, hanya dapat disiapkan 11 unit. Sementara itu, TNI AU belum memiliki radar-radar early warning dan ground control interception, sehingga wilayah udara di atas wilayah kedaulatan Republik Indonesia belum mampu dimonitor secara utuh.

Kondisi serba terbatas tentu juga dialami TNI Angkatan Darat (AD). Kekuatan kendaraan tempur (ranpur) jenis tank dan panser, bila dilihat dari segi kuantitas, telah mencapai sekitar 95 persen dari kebutuhan. Akan tetapi, dari segi kualitas hanya mencapai sekitar 55 persen dari yang seharusnya. Karena sebagian besar dari ranpur dimaksud adalah aset lama dengan usia pakai rata-rata di atas 40 tahun.

Tank Scorpion buatan Inggris tahun 1986-hasil pengadaan tahun 1996 yang jumlahnya 100 unit-saat ini tidak lagi mendapat dukungan amunisi baru akibat embargo oleh negara produsennya. Sementara, amunisi awal yang diadakan bersamaan dengan kontrak pembelian ranpur tersebut, jumlahnya sudah jauh berkurang karena telah digunakan untuk keperluan latihan. "Amunisi Scorpion yang dibeli bersamaan dengan kendaraannya sebenarnya baru untuk kebutuhan uji coba. Untuk bekal pokok, belum ada," ungkap Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu.

***

DENGAN kondisi serba terbatas, kemampuan TNI mengantisipasi apalagi mengatasi ancaman yang mungkin muncul di kawasan Asia Pasifik agaknya meragukan. Sementara, angkatan perang kita masih tertatih-tatih untuk bangkit di bawah tekanan embargo Amerika Serikat (AS) dan keterbatasan anggaran dari negara, sejak awal tahun 1990-an negara-negara Asia Pasifik telah dan sedang meningkatkan kekuatan militernya.

Pengamat militer dan pertahanan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Dr Edy Prasetyono, memberi gambaran umum. Negara-negara di kawasan diperkirakan telah membeli atau memproduksi dengan lisensi kurang lebih 3.000 pesawat militer, termasuk di dalamnya 1.500 pesawat tempur (fighters and strike aircrafts) dan 400 kapal perang. "Ini adalah fenomena luar biasa karena justru setelah Perang Dingin usai, terlihat ada semacam kompetisi peningkatan kakuatan militer di kawasan," kata Edy.

Kecenderungan untuk meng-up grade pesawat tempur yang lama dilakukan di Korea, Australia, dan Singapura. Korea merencanakan akan membeli 40 buah pesawat F-15 baru, dengan harga sekitar 4 milyar dollar AS. Australia juga akan membeli 100 pesawat baru menggantikan F/A-18 dan F-111 milik angkatan pertahanannya, dengan anggaran sekitar 6 milyar dollar AS. Sementara, Singapura akan memperkuat armada udaranya dengan 20 hingga 24 pesawat tempur, dan akan membeli sekitar 80 pesawat tempur baru sampai tahun 2004.

Meskipun ada penurunan akibat krisis ekonomi, sejak tahun 1998 anggaran militer negara-negara kawasan menunjukkan peningkatan. Bahkan, dengan perhitungan dollar AS, Asia Timur meningkat dari 94,62 milyar dollar AS menjadi 108,73 milyar dollar AS, Asia Tenggara dari 12,6 milyar AS menjadi 14,26 dollar AS, Asia Selatan dari 14,55 milyar dollar AS menjadi 19,59 milyar dollar AS. Menurut data International Institute for Strategic Studies, 2000-2001 itu, pengecualian terjadi pada kawasan Australasia (Australia dan Selandia Baru), yang mengalami penurunan dari 7,98 milyar dollar AS menjadi 7,278 milyar dollar AS.

Bandingkan dengan Indonesia yang anggaran pertahanannya hanya Rp 12.754,94 milyar atau hanya 3,71 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Anggaran pertahanan Indonesia sebesar itu hanya cukup untuk membeli separuh kapal perusak USS Paul Hamilton milik AS. Jepang, tetangga kita, memiliki enam buah kapal destroyer sejenis Paul Hamilton itu.

***

PENINGKATAN kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik ditandai ciri utama penekanan pada aspek maritim. Masih menurut Edy, penekanan pada aspek maritim adalah hal yang dari perhitungan strategis dapat dipahami. Negara-negara di kawasan masih menghadapi konflik-konflik teritorial, terutama wilayah dan perbatasan laut.

Hal itu mendorong negara-negara di kawasan untuk mengembangkan perencanaan dan strategi militer dengan penekanan pada pembangunan kekuatan militer yang dapat melindungi kepentingan-kepentingan maritim: melindungi Sea Line of Communications (SLOCs), zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan wilayah-wilayah perairan (coastal areas) yang lain. Terlebih negara-negara Asia Pasifik menghadapi ancaman keamanan laut lebih besar dari negara-negara di kawasan lain. Mereka harus mengawasi dan melindungi lebih dari 52 persen wilayah laut di dunia. Jalur laut di kawasan ini juga sangat vital bagi negara-negara di kawasan dan dunia secara keseluruhan. Nilai perdagangan yang melintasi jalur Asia Pasifik mencapai trilyunan dollar AS tiap tahun.

Selain itu, ancaman keamanan baru (non-traditional security threats) juga makin berhasil memanfaatkan dan memanipulasi dimensi laut, terutama pembajakan dan migrasi ilegal. Menurut International Maritime Bureau, pada tahun 2000, sebanyak 119 dari 285 insiden serangan bajak laut di seluruh dunia terjadi di perairan Indonesia. Di antaranya, 75 insiden terjadi di kawasan Provinsi Riau dan Selat Malaka.

Ciri lain dari peningkatan kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik adalah bahwa sebagian besar senjata yang dibeli atau diperoleh mempunyai sifat ofensif. Hal ini bisa dilihat dari akuisisi persenjataan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur, dengan penekanan pada peningkatan kekuatan udara dan laut yang bersifat mobile dan mampu digunakan untuk proyeksi kekuatan di luar batas nasional. Misalnya, pesawat tempur, kapal perang moderen, kapal selam, dan rudal jarak jauh antikapal dan antikapal selam.

Dengan ciri seperti ini, dikhawatirkan akan lahir rantai aksi-reaksi dalam persenjataan atau kekuatan udara dan laut yang akan berakibat negatif terhadap kestabilan kawasan.

***

PERTANYAAN yang timbul kemudian setelah melihat kedua ciri peningkatan kekuatan militer di kawasan Asia Tenggara itu, apakah Indonesia masih bisa mempertahankan dan melindungi kedaulatannya dengan menggunakan strategi pertahanan pulau-pulau besar? Apakah doktrin Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) masih relevan? Apakah Indonesia masih tetap dapat bertumpu pada taktik perang gerilya?

Menurut Edy, perang masa sekarang bukan lagi perang teritorial. Tidak ada lagi perang untuk menguasai teritorial tertentu. "Kalau terjadi perang, sasarannya adalah penghancuran terhadap apa yang disebut sebagai center of gravity. Tempat-tempat strategis yang menjadi sasaran penghancuran dengan menggunakan persenjataan moderen," papar Edy.

Bentuk perang tradisional yang mengandalkan pada okupasi akan menjadi semakin terbatas. Pengalaman Perang Teluk, tahun 1990, menunjukkan betapa perang tidak lagi ditandai dengan operasi sekuensial, attrition oriented attacks, dan operasi yang didukung dengan logistik besar-besaran, melainkan ditandai dengan operasi nonlinier dan serentak, serangan yang cepat dan mematikan terhadap center of gravity, dan dukungan logistik yang just-on-time.

Di tengah upaya sejumlah pakar untuk mengembangkan suatu sistem pertahanan nasional yang dapat diandalkan, sesuai dengan perkembangan strategis di kawasan Asia Pasifik, KSAD tetap gigih mempertahankan keberadaan komando teritorial (koter) atau komando kewilayahan yang menempatkan perang gerilya sebagai strategi utamanya.

Struktur koter dinilai masih relevan dengan tugas pokok TNI AD menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia, sebab Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kebangsaan. Koter dibutuhkan sebagai penanggap awal terhadap ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. "Selama masalah kebangsaan kita belum final, komando teritorial masih tetap dibutuhkan," kata Ryamizard dalam berbagai kesempatan.

Namun, di sisi lain, Ryamizard mengakui telah terjadi akumulasi kegagalan TNI dalam mengelola pembinaan teritorial (binter) di wilayah-wilayah yang sekarang dilanda konflik bersenjata dan konflik horizontal. Hal itu mengakibatkan penanganan konflik di wilayah Aceh, Papua, Maluku, dan Poso berlarut-larut dan hingga kini belum terselesaikan.

Ajaibnya, Departemen Pertahanan (Dephan) maupun Markas Besar (Mabes) TNI tidak memiliki matriks perencanaan dan pengelolaan pertahanan secara terpadu atau semacam rencana strategis (renstra) untuk jangka waktu tertentu. Hal ini diakui Wakil Ketua MPR Letjen Agus Widjojo. "Kita hanya meraba-raba secara sektoral titik demi titik, yang akhirnya setelah kita keluar ruangan, itu juga hilang ditelan angin. Tidak pernah berbentuk," ungkap Agus.

Akibatnya hingga saat ini strategi pertahanan yang digunakan Indonesia bukan atas dasar penilaian terhadap ada atau tidaknya ancaman, melainkan pertahanan berdasar kemampuan atau capability defense management.

PATIMPUS Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.