Our Blog

Menggagas Super Power Maritim Indonesia


Kekuatan Militer sebagai Pengimbang dan Penggentar


Oleh Koesnadi Kardi

SATU lagi wilayah kedaulatan Indonesia diklaim oleh Malaysia setelah mereka
berhasil merenggut Sipadan dan Ligitan dari tangan kita melalui meja
Mahkamah Internasional. Tindakan negara jiran ini membangkitkan rasa
persatuan masyarakat dengan timbulnya rasa antipati rakyat Indonesia kepada
Malaysia. Didorong oleh rasa nasionalisme yang tinggi dan keinginan yang
besar untuk berpartisipasi dalam mempertahankan wilayah kedaulatan RI, rasa
antipati tersebut akan bisa semakin besar sebagaimana bergulirnya bola salju
manakala tidak bisa ditangani secara baik dan memuaskan (bagi ukuran publik
Indonesia).

Penanganan secara baik atas tragedi ini nampaknya akan selalu diupayakan
oleh Malaysia dan Indonesia, baik melalui jalur politik-diplomasi, namun
demikian ada satu kekuatan yang mampu menekan agar penyelesaikan damai yang
adil dapat segera diwujudkan, yaitu melalui balance of power (perimbangan
kekuatan). Bagi mereka yang memiliki kekuatan militer yang lebih dapat
diandalkan, keyakinan akan deterrence power (kekuatan penggentar) menjadi
lebih besar sehingga mampu memberikan kekuatan menekan -- sebagai bargaining
power -- dalam penyelesaian politik. Kegagalan dalam bidang penyelesaian
politik dan diplomasi akan menyebabkan timbulnya clash militer. Pada
dasarnya, "perang adalah kelanjutan keputusan politik", kata Clausewitz.

Kekuatan Militer sebagai Penggentar
Dalam konflik dengan Belanda dalam kasus Irian Barat (sekarang Papua) di
awal 1960-an, adalah kekuatan angkatan perang dan mobilisasi umum yang
menjadi salah satu penentu perginya Belanda dari wilayah itu. Indonesia saat
itu memiliki antara lain 1 skadron pesawat pengebom strategis TU-16 KS dan
berbagai macam pesawat tempur Mig, mulai dari Mig 15, Mig 17, Mig 19, sampai
dengan Mig 21.

Saat itu, peta kekuatan udara ini saja sudah merupakan alat utama sistim
senjata udara yang diperhitungkan negara manapun di dunia ini, termasuk
negara seperti Belanda. Sedangkan kekuatan tempur yang dimiliki oleh
Angkatan Laut RI saat itu adalah sejumlah kapal selam, perusak, hingga jenis
penjelajah berat yang kesemuanya dalam keadaan siap-siaga dan berkemampuan
penuh.

Di masa lalu itu kita telah menerapkan in peace prepare for war, in war
prepare for peace (dalam damai bersiaplah untuk berperang, dalam perang
bersiaplah untuk berdamai), seperti dikatakan Sun Tzu dalam bukunya yang
terkenal The Art of War.
Penggelaran kekuatan militer besar-besaran Indonesia saat itu rupanya telah
menarik perhatian Amerika Serikat sebagai sekutu Belanda yang kemudian
memberikan hasil pengamatan intelijennya ke Belanda berkaitan dengan
persiapan Indonesia untuk menghancurkan kekuatannya di Irian Barat.
Barangkali menyadari kekuatannya sendiri yang lebih lemah dan untuk
menghindari risiko yang lebih besar, kapal induk Karel Dorman segera ditarik
kembali ke Belanda kemudian menyatakan menyerah melalui meja perundingan.
Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Sebaliknya, bagaimana dengan kekuatan militer kita saat ini dihadapkan
dengan masalah Ambalat? Masih bisakah kita mempraktekkan ajaran-ajaran Sun
Tzu yang dua ribu limaratus tahun yang lalu telah mengatakan bahwa the true
object of war is peace (tujuan perang yang sebenarnya adalah damai)?
Bagaimana bila memang perang kemudian tidak dapat dihindarkan?
Sebetulnya, dari makna tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak akan tercapai
suatu perdamaian tanpa membangun kekuatan militer yang kuat, karena bila
suatu pihak masih merasa dapat mengandalkan kemampuan dan kekuatannya yang
dianggap melebihi kekuatan lawannya, maka intimidasi dan provokasi menuju
suatu perang tidak akan dapat terhindarkan.

Demikian juga Amerika Serikat dan Uni Soviet pada saat perang dingin, karena
mereka memiliki kekuatan tempur yang berimbang, mereka tidak pernah
berperang secara langsung. Mungkin ini pula jawaban mengapa Pakistan yang
belum menjadi negara kaya dan bahkan tidak lebih dari negara kita, tetap
memastikan diri untuk membangun kekuatan pertahanannya. Bahkan negara
Amerika Serikat pun sebagai negara super power yang memiliki kekuatan
militer lebih besar dari 10 negara-negara dalam urutan kekuatan tempur di
bawahnya (antara lain Cina, Rusia, India sampai urutan ke sepuluh negara
lainnya) masih terus meningkatkan kekuatan militernya.


Peningkatan Kekuatan Udara dan Laut
Kemampuan angkatan udara dan angkatan laut di era reformasi ini sangat
memprihatinkan. Kita harus mengambil pilihan yang tepat, dalam sistem
pertahanan nasional kita, dihadapkan dengan kondisi geopolitik dan
geostrategis, dimana kita adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Bila
kita semua bijak terhadap rasa nasionalisme kita sendiri, maka sebenarnya
secara langsung ataupun tidak, kondisi tersebut telah mengamanatkan bahwa
kekuatan udara dan laut Indonesia harus selalu ditingkatkan.

Negara kita yang letaknya sangat strategis saat ini berbatasan dengan 9
(sembilan) negara tetangga (Malaysia, Singapura, Vietnam, Brunai, Filipina,
Papua Nugini, Australia, Timor Leste, dan India) di mana tiga dari
negara-negara tersebut memiliki perbatasan darat dengan Indonesia.
Dari letak geografis dan dari pengalaman pengamatan, negara Indonesia hanya
akan dapat dicapai secara ekonomis melalui lautan dan udara. Penguasaan
penjajahan Belanda dan Jepang juga terjadi melalui jalur lautan dan udara.
Dengan demikian untuk memiliki kemampuan pencegahan terhadap terjadinya
invasi militer ke wilayah kedaulatan Indonesia dan untuk mampu mencapai
perdamaian seperti apa yang disampaikan Sun Tzu, diperlukanlah angkatan
udara dan laut yang selalu ditingkatkan kemampuannya.
Agar efektif dan efisien, upaya peningkatan kekuatan udara dan laut harus
selalu berkaitan erat dengan sifat dasar operasi udara (the nature of air
operations) dan sifat dasar operasi maritim (the nature of maritime
operations). Kekuatan udara selain dibangun melalui pesawat-pesawat buru
sergap dan pengebom, juga harus dilengkapi dengan pesawat berkemampuan
pengintaian atau pengamatan udara dan maritim dan pengendalian udara
(control of the air) sedangkan kekuatan maritim harus difokuskan untuk
peningkatan kemampuan pengendalian laut (control of the sea) dan proyeksi
kekuatan (force projection).
Apabila kekuatan udara dan kekuatan laut atau kekuatan maritim dapat
ditingkatkan berarti kekuatan penggentar (deterrence power) sebagai salah
satu amunisi dalam bernegosiasi secara politik maupun diplomatik akan lebih
kuat dan berarti pula tujuan perdamaian akan dapat diwujudkan selain
gangguan dan rongrongan terhadap kedaulatan negara yang kita cintai bersama
ini akan berkurang atau hilang dengan sendirinya.

Bila kita harus kembali kepada ajaran Sun Tzu 'In peace prepare for war, in
war prepare for peace', mungkinkah dengan kekuatan tempur yang kita miliki
seadanya saat ini, Malaysia akan mundur atau mengurungkan niatnya dan
mengakui kedaulatan wilayah kita hanya dengan melalui media politik dan
diplomatik?


Penulis adalah Marsda TNI, Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Dephan,
Alumni Seskoal, Royal College Defence Studies, London

PATIMPUS Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.